20.1.09

sebuah catatan tepi

(versi komplet)
****
Sebuah catatan tepi

Awal bulan pada tengah tahun, di sebuah catatan yang kumal karena kesia-siaan usia.

Hujan masih menyisakan gerimis ketika kita terpaksa melangkah telusuri jalan setapak. Seperti dulu, lumpur dan ilalang tetap jadi hiasan indah guratan-guratan debu di kaki kita. Ratusan bahkan ribuan jejak telapak kaki kita jadi lukisan panjang di jalan berlumpur yang kita lalui, namun kita belum juga tahu kemana kita menuju. Ke bilikku atau ke rumahmu atau ke istana yang belum sempat kita bangun. Guratan debu di tubuh kita semakin tebal, penat semakin akrab, namun belum juga kau ajak aku tuk singgah sekedar melepas lelah. Haruskah aku berteriak dan menyeretmu ke sebuah lembah agar kita bisa rebah dan menghela desah. Tak dapat lagi ku kamuflase air mata menjadi embun yang menetes di pipi karena hari semakin jauh berlari, atau kupaksakan tersenyum ketika memandang wajah mungilmu karena kau sama terlukanya, seperti aku.

Ah…, ilalang semakin banyak menoreh luka di tubuh kita, ingin sekali ku kecup luka di sekujur tubuhmu dan menanggung semua perih tapi kau tetap angkuh dalam wajah manismu. Aku yakin kau tahu betapa perih lukaku, betapa penat lelahku, betapa kering air mataku, betapa……….. aku tak bisa berkata lagi. Kau belum juga mengerti, senyum yang kau maksud tuk menghiburku adalah sebilah pisau yang mengiris senyumku menjadi tangis. Haruskah aku berkata, telah rapuh tubuh dan hatiku menahan gejolak hasrat yang kian menggunung, bahwa, aku ingin kita bersepakat dan saling mendekap erat di setiap tapak langkah kita dan membangun sebuah istana yang belum sempat kita bangun agar aku dapat membasuh setiap butiran debu yang mengotori tubuhmu.

Kita memang melangkah bersama, tapi kita tak seiring jalan. Kau tetap angkuh dalam pengembaraan dan aku tetap setia dalam penantian panjang…………

***

Catatan ujung malam, awal bulan pada akhir tahun.

Hujan telah berlalu, aroma tanah basah masih setia menjaga lamunanku. Aku merenung bagai gunung mengharap kau tancapkan kokoh tapakmu pada lereng-lerengnya dan bersama kita nikmati sunset di puncak, kau genggam tanganku dan rasakan hangat mentari yang cahayanya berpendar ke relung hatiku. Oh… aku tersadar ketika burung hantu senandungkan kidung rindu saat kelabunya mega selimuti semesta. Langit mulai gelap, ada sejuta harapan disana. Mentari menepi, purnama hangatkan lelah siang tadi menjadi seonggok mimpi. Aku menunggumu nyalakan sebentuk dian tapi kau tetap bersembunyi dalam samar bayangan. Jujur saja, aku mulai kesal atas kepengecutanmu. Aku ingin berteriak dan memaksamu tuk genggam erat tanganku agar kau suluhkan setitik cahaya dalam gelapnya jalan yang akan kita tempuh, tapi aku sepertimu, pengecut. Angin mulai deras berhembus menembus sepenggal harapan yang mulai pupus. Purnama yang tersisa pun enggan berbagi rasa, patah sayapnya dalam kehampaan.
Dingin malam mulai meradang, paksa ranting kering panjatkan dzikir kepasrahan pada nasib, pada keadaan. Gemericik daun dan nyanyian jangkrik iringi do’a sepi yang yang kupanjatkan, tertatih letih merayap diantara bintang-gemintang. Dingin makin menyelinap ke segenap relung hasrat, sementara kau tetap bersenbunyi dalam samar bayangan, entah tersenyum, entah menangis. Entahlah, kita memang aneh. Kau begitu dekat tapi juga begitu jauh. Aku begitu yakin dapat menemanimu dalam setiap langkah tapi tak mampu meyakinkan hatimu bahwa aku mampu. Ingin aku menangis tapi apa yang yang harus kutangisi?, ketidak mampuanku meraih hatimu atau kebodohanku karena terlalu yakin dengan perasaanku, entah. Haruskah aku tersenyum sementara hatiku begitu pilu.

Malam semakin dingin, semakin hening, sehening hati kita yang tak mampu berkata. Kita menggigil, sepertiku, kau kedinginan, aku ingin sebut namamu dan memelukmu erat tapi aku ragu apakah kau mampu mendengar suaraku yang menggema di setiap penjuru semesta, pun angin tak mampu getarkan sebentuk rasa dalam hatimu.
Sudahlah, kini aku cuma berharap malam segera menepi meraih pagi, biarkan waktu terus berlalu dan mengalir seperti air…….. Untukmu, terima kasih atas senyummu, atas segala luka yang kau torehkan, atas segala duka yang kau sematkan, atas segala kenangan yang kau tanam di palung hati, atas setitik arti yang kau guratkan ketika sepi memberi mimpi.

Kini, aku cuma ingin kau tahu bahwa hatiku penuh kasih…

***

Dalam beku darah tertumpah
Menetes aliri segenap langkah
Lantakkan senyum disela desah
Terbang mengawan bersama
Sayap yang patah
Dan lelah……………

***

Akhir sebuah persinggahan, kali pertama matahari terbit pada tahun ini.

Semesta begitu hangat ketika mentari bagikan sinarnya, kala malam telah menepi. Mimpi telah larut bersama kabut pagi, pelan tapi pasti kan mencair menjadi butiran air di ujung daun atau sekedar penyejuk rumput liar di jalan setapak dan kita menginjaknya. Sungguh ironis, kita abaikan setetes air penyejuk demi ego yang bersarang di hati kita. Kalau kau mau meluangkan waktumu sejenak, kau akan mengerti bahwa tanpa kehadiran mereka tak akan pernah ada kehangatan mentari pagi, takkan berarti indahnya mimpi-mimpi.
Kini, aku makin mengerti bahwa selama ini aku bermimpi, cuma mengharap mentari kan memeluk rembulan. Konyol memang, menganalogikan kau adalah matahari dan aku bulan, tapi cuma itu yang dapat menghiburku dan menjadi sedikit supplement bagi dahaga hatiku. Seperti halnya mentari dan rembulan, kita tetap melangkah dalam dunia kita masing-masing, tak mungkin bertemu meski ingin bersatu. Betapapun besar kita berharap tuk saling mendekap erat namun itu cuma perangkap dari dalamnya hasrat, bahwa alam kan kelam ketika mentari dan rembulan menyatu, alam kan gelisah ketika mereka berpisah. Mungkin ini jalan yang harus kita tempuhi, saling menjaga dan menghiasi agar jalan kita tetap asri dan bunga liar tetap berseri.
Terima kasih atas mimpi yang tak sengaja kau sematkan. Mimpi-mimpi tentangmu begitu indah menghiasi hariku, begitu bersahaja menjaga hati dan bertahta disana. Walaupun segala bentuk kesah tak dapat aku hindari tapi nikmati saja dan biarkan mengalir seperti air. Demikianlah kenyataan yang harus ku jalani, menangis pun kini tak berarti, karena sepi dan mimpi telah terbiasa.

Sudahlah, bertemu atau berpisah, kita tetap satu………………………………

***

Akhir catatan tepi.

Hujan Musim kemarau

Tak ingin ku teteskan air mata
Karena tanpa kehadiranmu,
Semakin kenal akan dunia
Dan mengerti bahwa,
Isi semesta cuma satu.
Ketika kau semakin jauh berlari
Kau taburkan segenggam debu,
Itupun suci.
Ketika aku mulai melupakanmu
Kau datang menghunus sebilah belati
Kau tusuk tepat di jantungku,
Kau sayat melukai hati,
Terbelah.
Aku terpaksa meringis,
Agar tak menangis.
Dan kau tersenyum manis,
Menyeka darah, membalut luka.
Dua butir air bening menetes
Menyatu bersama embun.

***

Sebuah pengingkaran

Aku tahu,
Menyimpan dalamnya luka akan menyakitimu
tapi aku lebih tahu,
membuka sayatan luka karena angkuhnya waktu
akan membuatmu jatuh ke dalam dunia yang tak pernah kau tahu

Cuma angin yang mengerti,
Kemana hujan kan menepi.
Dan disini,
Dibawah langit biru sebentuk mimpi tetap setia menanti
Kapan tubuh ini di eksekusi

Kita menyebut jatuhnya butiran air dengan gerimis
Kita tak pernah tahu bahwa itu irama yang begitu ritmis
Seperti kita tak pernah tahu, untuk apa kita menangis
Dengan angkuh kita berkata, agar tampak lebih humanis?

Ingin kupecahkan setiap cermin
Agar kelamnya awan kelabu tak lagi meracuni
Biarlah kita bersolek dengan pantulan nurani
Karena aku yakin itu lebih indah
Dari sejuta panorama yang di tangkap oleh mata
Kini kita tahu,
Mata tak selalu berkata apa adanya
Tak pantas bagi hati mengingkari apa harus terjadi
Untuk itu,
Nikmati saja apa-apa yang tak bisa kita nikmati.
Atau kita layak disebut, bangkai…..

Retorika
Ah…
Apakah ini semacam ketololan
Atau sebentuk ketidakmampuan.
Kita selalu menyalahkan waktu,
Manakala gagal mewarnai hidup.

Air mata yang mengembang kita namakan embun
Lalu darah yang tertumpah di tanah yang basah
Karena dalamnya luka kita sebut apa?
Akankah kita salahkan langit yang menurunkan hujan
Atau bumi yang gagal memeluk jutaan bangkai di perutnya?.

Kita pecahkan cermin itu,
Karena takut melihat bayangan sendiri,
Atau enggan mendengar cerita jujur
Tentang kebusukan luka yang menghiasi sekujur nurani.
Percuma, esok pun terkubur.

Kita terbiasa bermain kata-kata
Dan kita tersesat di dalamnya…

***

powerwd by lee